Kemanusiaan dan Kebermaknaan dalam Obituari
Judul : Mengenang Hidup orang Lain, Sejumlah Obituari
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Januari 2010
Halaman : vii + 489 Halaman
Membaca obituari selalu membawa seseorang kepada dua konsekuensi. Pertama, mengingat kembali jasa-jasa, kebaikan, ide-ide, bahkan kekurangan tokoh yang telah tiada. Kedua, mengingatkan bahwa manusia tidak abadi, ada saatnya ia harus berpulang ke alam baka.
Paling tidak, itulah yang dapat ditangkap dari kumpulan obituari yang ditulis oleh Ajip Rosidi ini. Dalam setiap obituari yang ditulisnya, Ajip secara lugas mengisahkan kelebihan-kelebihan dari tokoh-tokoh yang sedang dibicarakannya. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh itu memang layak untuk dikenang, dihormati dan dihargai. Paling tidak, di mata Ajip, mereka bukanlah orang biasa, tetapi orang-orang yang mempunyai visi, integritas, berkepribdian, konsisten, serta setia terhadap idealisme.
Penghargaan Ajip terhadap tokoh yang ia kisahkan bukanlah sekadar asal sebut, tetapi didasarkan atas pengalaman pribadinya dengan tokoh bersangkutan. Hal ini terlihat dari cerita Ajip yang menyatakan bahwa ia kerap berkorespondensi, bergaul akrab bahkan berpolemik dengan mereka. Ini terjadi baik ketika Ajip masih mengajar di Jepang maupun ketika ia berada di Indonesia.
Inilah yang membuat obituari tokoh-tokoh dalam buku ini menjadi lebih kaya dan bernas. Ajip tidak hanya mengisahkan secara umum ketokohan mereka, tetapi juga menyampaikan hal-hal kecil yang bersifat human intersest dari para tokoh tersebut yang mungkin tidak diketahui secara umum.
Sebut saja ketika Ajip mengisahkan Suhamir, seorang arsitek dan ahli purbakala asal Bandung. Dalam tulisannya Ajip mengatakan bahwa tokoh ini adalah arsitek Taman Makam Pahlawan Cikutra di Bandung. Ironisnya, tidak banyak masyarakat Kota Kembang itu yang mengenal Suhamir. Padahal jasanya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Bandung. Menurut Ajip, Suhamir ikut pula merestorasi Candi Prambanan.
Catatan menarik dari Ajip mengenai Suhamir adalah, ia salah satu orang turut merencanakan pembuatan kampus Universitas Gadjah Mada (hal.254) yang honorariumnya dari pemerintah Republik Indonesia belum dibayarkan, setidak hingga tulisan tersebut dibuat pada tahun 1967.
Menurut Ajip, alasan Suhamir tidak mau menerima bayaran tersebut karena sejumlah petugas yang tidak malu-malu meminta komisi jika honorarium tersebut dicairkan. Dengan alasan tidak mau ikut-ikutan “bermain kotor”, Suhamir akhirnya memilih untuk tidak mengambil uang yang kala itu jumlahnya sangat besar.
Keluasan pergaulan Ajip dengan orang-orang yang berpengaruh dan disegani dari berbagai kalangan, juga ikut membuat obituari yang ditulisnya semakin berwarna. Apalagi ia sanggup merangkai kisah dari tokoh yang ditulisnya dengan tokoh-tokoh lain sehingga obituari yang ditulisnya sanggup mengajak pembaca melihat dan menelusuri ketokohan seseorang dengan lebih luas.
Inilah yang membuat sebuah obituari tidak melulu menjadi sebuah kisah yang bersifat individual, tetapi juga menjadi sebuah kenangan tentang banyak orang. Dengan begitu obituari menjadi lebih hidup dan sarat makna karena di dalamnya terdapat kisah interaksi antara manusia yang mencirikan kemanusiaan itu sendiri. Obituari seperti ini tidak hanya inspiratif tetapi juga menyadarkan arti kemanusiaan siapa saja yang membacanya.
Meksipun obituari yang ditulis oleh Ajip dalam buku lebih bersifat penghormatan, namun Ajip tidak segan untuk melakukan kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Ajip seperti tidak memiliki beban untuk melulu mengatakan hal yang manis terkait dengan seorang tokoh. Sebaliknya, dengan lugas Ajip menyampaikan kritiknya terhadap seorang tokoh.
Lihat saja ketika Ajip menulis obituari Pramoedya Ananta Toer. Dalam tulisannya Ajip tidak hanya menyayangkan Pramoedya yang tidak kunjung memperoleh penghargaan Nobel kendatipun sudah dicalonkan sebagai penerimanya, namun juga ia mengritik aksi Pramoedya yang menguliti seniman penandatangan Manifesto Kebudayaan lewat ruang Lentera dari surat kabar Bintang Timur.
Seniman lain yang juga terkena kritik oleh Ajip adalah Dodong Djiwapradja. Penyair Sunda yang pernah dianggap memiliki haluan politik yang kekiri-kirian. Bagi Ajip, di satu sisi Dodong bukanlah sastrawan yang produktif. Malah ia dikatakan sebagai penulis yang tidak punya motivasi untuk menulis sehingga ilmunya tidak dapat diamalkan saecara maksimal. Padahal Ajip berulang kali mencoba memotivasinya untuk menulis. Kritik ini tentu saja bukan bentuk ketidaksukaan Ajip kepada Dodong, tetapi cerminan Ajip yang menyayangkan kemampuan dan potensi dari sahabatnya itu.
Pada tulisan lain, Ajip juga tidak segan mengritik Prof.Dr. Fuad Hassan yang ketika menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan memecat dengan tidak hormat Riyono Pratikto dari Universitas Padjadjaran, Bandung, karena dituduh terlibat Gestapu. Dalam tulisan tersebut, dengan sedikit sinis, Ajip mengritik bagaimana mungkin Fuad Hassan yang katanya memiliki minat yang besar terhadap sastra, kesenian, filsafat serta berkawan dengan para seniman dapat dengan mudahnya menandatangani surat pemecatan Riyono, yang juga seorang penulis produktif, tanpa melihat kembali secara baik latar belakang yang sesungguhnya (hal. 398).\
Ajip memang seorang yang lepas bila mengemukakan pendapatnya. Ia berbicara langsung apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ketidaksukaannya pada seseorang ataupun perilaku seseorang selalu ia tuliskan apa adanya, tanpa dilebih-lebihkan ataupun “bumbu-bumbu” lain.
Sebagai budayawan, Ajip tampaknya mempunyai perhatian khusus terhadap dunia sastra ataupun budaya. Tidak mengherankan jika dalam kumpulan obituari ini berkali-kali Ajip mempersoalkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra maupun kebudayaan. Tengok saja tulisannya yang berjudul Arenawati, Sasterawan Negara (hal.414). Dalam tulisan ini secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak terlalu peduli dengan dunia sastra ataupun sastrawannya.
Dalam tulisan itu Ajip memuji pemerintah Malaysia yang justru mengangkat Arenawati, sastrawan asal Indonesia, menjadi Sasterawan Negara di negeri itu. Kata Ajip, beruntung Arenawati menjadi warga negara Malaysia. Pasalnya, walaupun Arenawati berhasil menulis karya yang lebih hebat dari La Galigo, belum tentu ia mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.
Pengalaman Ajip yang sangat kaya, juga membuat obituari yang ditulisnya memiliki spketrum yang meluas. Obituari yang ditulisnya tidak hanya bicara soal seseorang, tetapi juga sanggup menyentuh persoalan-persoalan lain, baik itu di bidang kebudayaan, ekonomi maupun politik. Tidak heran jika satu dua kali kita akan terhenti sejenak untuk merefleksikan tulisan Ajip (bahkan ada yang ditulis 40 tahun lalu) dan memproyeksikannya dengan kondisi riil yang ada pada masa kini. Pendek kata, obituari yang ditulis oleh Ajip berdimensi ke masa depan, dalam arti sanggup untuk memotret realitas masa lalu dan memproyeksikannya pada kekinian.
Kekurangan kecil tentang buku ini adalah, beberapa kali ditemukan sejumlah singkatan pada beberapa artikel, seperti “al.” dan “kl”, mungkin artinya “antara lain” dan “kurang lebih”. Tidak jelas apakah singkatan itu dibiarkan untuk mempertahanakan orisinalitas, atau karena memang terlewat begitu saja oleh editor.
Pertanyaan ini muncul karena banyak dari obituari dalam buku ini ditulis pada tahun 1960-an ketika penggunaan Bahasa Indonesia di surat kabar belum terlalu mendapat perhatian seperti sekarang. Singkatan tersebut sesekali membuat pembaca terhenti sejenak untuk mencoba mengartikannya. Meskipun demikian, hal itu tidak mengganggu substansi dari tulisan yang ada.
Hal yang pasti, obituari yang disampaikan oleh Ajip diformulasikan sedemikian rupa sehingga pembaca ditarik ke sebuah ujung yang mempertanyakan eksistensi dirinya di dalam dunia. Eksistensi ini boleh dikatakan bersifat paradoks. Di satu sisi eksitensi manusia diperhitungkandan diperjuangan, namun di sisi lain eksistensi seakan menjadi semu karena pada akhirnya manusia harus mati.
Namun tentu saja Ajip tidak ingin menawarakan pesimisme terhadap kehidupan. Sebaliknya, ia ingin mengajak setiap orang untuk berbuat lebih banyak agar hidupnya lebih bermakna, bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menuju Kritik Sastra yang Bermartabat
Penulis:Bramantio, dkk
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: Januari 2010
Halaman: 528 halaman
Perdebatan mengenai kritik sastra tampaknya tidak lagi berkutat seputar validitas metodologi, kemutlakan kaidah sebuah kajian, ataupun jenis pendekatan kritik yang dilakukan, melainkan telah bergeser ke persoalan penciptaan kritik sastra yang bermartabat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan sastra maupun kritik sastra itu sendiri.
Persoalannya adalah, bagaimana kritik sastra yang bermartabat diciptakan sehingga kritik tersebut benar-benar kreatif sehingga sanggup melakukan sebuah interpretasi maupun usaha eksegesis yang lebih kaya dari sebuah karya sastra? Siapa yang seharusnya melakukan kritik sastra? Kemudian, apakah kritik yang ditulis dapat dikomunikasikan sehingga dapat “berbunyi” dan dapat menyusuri lorong referensi pembaca awam?
Pengajuan pertanyaan-pertanyan inilah yang membuat kritik sastra menjadi sesuatu yang tidak gampang untuk ditulis. Pertama-tama karena seorang penulis kritik harus memiliki kapasitas yang mumpuni, baik dari sisi teori maupun “kelengkapan subyektivitas” lain untuk menganalisa sebuah karya. Kedua, ia harus sanggup mengomunikasikan “temuan” dari sebuah karya kepada pembaca. Apabila pembaca tidak dapat memahami apa yang dicoba disampaikan oleh penulis kritik, maka si kritikus telah gagal melakukan kritik.
Hadirnya buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi, tampaknya ingin menjawab persoalan di atas. Buku yang merupakan antologi tulisan pemenang lomba kritik sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2007 dan 2009 ini terutama dilakukan untuk membasahi “keringnya” kritik sastra di wilayah kesusatraan Indonesia mutakhir.
Lalu seperti apakah kritik sastra yang diharapakan? Apakah kritik sastra seperti yang termuat dalam buku ini adalah model kritik yang diharapkan? Bagiamana kecenderungan kritik sastra yang disampaikan dalam buku ini? Mari kita lihat.
Dari Zaman Citra ke Metafiksi terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah kritik sastra yang diitulis dengan tema Kepengrajinan (craftmanship) dalam Sastra Indonesia Mutakhir, sedangkan pada bagian kedua, kritik sastra ditulis dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad 21.
Pada tema pertama, kritik ditulis dengan melihat atau menelaah epistemologi sastrawan dalam membentuk karyanya, demikian ditulis oleh tim juri dalam pengantar bagian pertama buku ini. Jadi, dalam telaah ini dicoba ditemukan hal paling mendasar dari pembentukan sebuah karya sastra berdasarkan evidensi-evidensi objektif yang dapat ditemukan dalam karya sastra itu sendiri.
Di sini, telaah dimulai dari analisa teks menuju kompleksitas sastrawannya. Teks tidak ditelaah untuk melihat konstruksi ataupun seluk-beluk pemikiran yang seorang sastrawan, namun lebih mendasar lagi yakni craftmanship itu sendiri. Tidak mengherankan apabila telaah yang dilakukan begitu kental dengan “pemecahan teks”, yakni membagi teks menjadi pecahan-pecahan kecil yang kemudian, dan dimaknai untuk kemudian menerjemahkannya sebagai satu kesatuan.
Hal ini tampak pada telaah berjudul Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang Bercerita dan Menulis tentang Dirinya Sendiri yang ditulis oleh Bramantio. Dalam telaah ini Bramantio dengan cermat dan detil menelaah novel Cala Ibi yang ditulis oleh Nukila Amal. Dalam telaahnya, Bramantio bahkan menawarkan cara atau strategi pembacaan novel Cala Ibi agar kerumitan dalam “membaca” simbol di dalamnya dapat lebih mudah dilakukan.
Kritik yang yang menduduki tempat teratas pada sayembara kritik sastra tahun 2009 ini tampak mencoba untuk melepaskan teks sastra dari teks-teks lain di luar karya sastra tersebut, yang dalam istilah Afrizal Malna disebut sebagai “pembersihan”, agar teks tersebut lebih steril sehiingga lebih mudah untuk diidentifikasi.
Dalam hal ini, kritikus menyadari bahwa Cala Ibi adalah novel yang kaya dengan metafora, kerumitan sudut pandang cerita, penokohan, dan tanda-tanda yang sulit dipahami begitu saja oleh pembaca, sehingga tawaran pendekatan yang dilakukan pun memang tidak dapat dilakukan secara biasa.
Beberapa kritik sastra dalam antologi lainnya pun mencoba untuk “memeriksa” teks-teks sastra untuk menelaah kerumitan “relasi” antara dunia seorang sastrawan dengan dunia yang melingkupinya. Sebut saja telaah atas sajak-sajak Afrizal Mana yang ditulis oleh Tia Setiadi. Tia secara jelas dapat memperlihatkan bagaimana “relasi” atau ketegangan antara Afrizal dengan “teks-teks” dunia yang dihadapinya.
Bagian kedua dari buku ini adalah telaah sastra dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Dalam telaah ini diharapkan ada jawaban atas sejumlah pertanyan, seperti adakah kebaruan dalam sastra Indonesia setelah tahun 2000? Apakah konteks kekinian memengaruhi proses penciptaan sastra Indonesia mutakhir? (hal.299).
Dalam telaah yang dilakukan, tampaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab. Sebut saja telaah berjudul Memandang Bangsa dari Kota: Telaah atas Cala Ibi (Nukila Amal dan Jangan Main-main dengan kelaminmu (Djenar Maesa Ayu). Penulisnya, Manneke Budiman, tampaknya berhasil membongkar teks-teks kota dalam kedua karya sastra tersebut.
Dari telaah yang dilakukan tersebut, tampak bagaimana sikap para sastrawan terhadap penanda dunia kontemporer, termasuk menemukan makna dirinya dalam persoalan-persoalan khas kota besar. Mereka tidak hanya mengkritik sekaligus berdamai dengan tawaran kenikmatan kota, tetapi juga melihatnya sebagai simtom keterbelahan bangsa. Kota hanya sesuatu yang terus mempercantik diri tanpa pernah dapat memberikan arti pada bangsa. Di sini Manneke berusaha memperlihatkan bahwa karya sastra Indonesia mutakhir memang masih mempersoalkan hiruk pikuk kota yang dianggap selalu berkecederungan memiliki persoalan dengan masalah moral.
Tidak hanya itu, pada bagian kedua ini seperti ingin diperlihatkan bahwa sastra mutakhir pun masih berbicara soal spiritualitas Tulisan yang menyebutkan hal ini adalah Religiusitas dan Erotika dalam sajak-sajak acep Zamzam Noor yang ditulis oleh Tia Setiadi. Dalam tulisan ini Tia Setiadi berhasil mengidentifikasi bahwa sajak-sajak Acep Zamzam Noor banyak berbicara soal Tuhan dan relasinya dengan aku-lirik. Namun di saat yang bersamaan Acep juga bicara soal erotika dan kekagumannya kepadaperempuan.
Sepintas hal ini tampak bertentangan. Namun dengan argumentasinya, Tia ingin mengatakan bahwa reiljiusitas dan erotika adalah dua hal yang memiliki keterkaitan dan pararelisme yang erat (hal.478). Dengan mendasarkan gagasannya pada pemikiran George Bataille--seorang penulis Prancis--,Tia setiadi melihat bahwa pengalaman erotika memiliki kesamaan dengan penyatuan dengan sesuatu yang bersifat ilahi ataupun mistik. Perbedaannya adalah, dalam erotika kedua insan harus berubah dan sama-sama bertindak untuk saling meluruhkan diri menjadi satu, sedangkan dalam momen mistik hanya mengisyaratkan subjek hanya dalam keadaan hening-bening dan sunyi (hal. 479). Apa yang disampaikan oleh Tia Setiadi ini dapat dikatakan, merupakan pemakanaan baru dari saja-sajak Acep Zamzam Noor.
Pendek kata, telaah atau kritik yang ada pada buku ini memang menawarkan kebaruan dalam pemaknaan karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa para kritikusnya memiliki kapsitas yang memadai untuk melakukan sebuah kritik. Namun tentu saja kritik yang dilakukan tidak bersifat final, sebab karya sastra adalah teks terbuka yang masih dapat dimaknai secara terus menerus sesuai konteksnya.
Meskipun begitu, terbitnya buku ini patut dihargai karena dengan cara ini dunia kritik sastra Indonesia akan lebih kaya. Terlebih dari itu, usaha penerbitan kritik sastra dengan melewati mekanisme penjurian seperti yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta akan membuat kritik sastra yang dilakukan akan lebih bermartabat.
Catatan Kompleksitas Soe Hok-Gie
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Soe Hok Gie adalah ikon gerakan mahasiswa. Ia telah menjadi inspirasi bagi banyak aktivis kampus di era tahun 1980-an hingga 1990-an. Bahkan catatan hariannya yang dibukukan dalam Catatan Seorang Demonstran, menjadi semacam bacaan wajib bagi peminat ataupun simpatisan dunia pergerakan.
Dari buku tersebut dapat dilihat bagaimana Hok-Gie merespon realitas. Jejak kegelisahan, semangat, perenungan, sikap maupun idealismenya dapat dilihat dari buku tersebut. Buku tersebut seolah menjadi representasi dunia batin adik kandung budayawan Arief Budiman itu.
Namun, sisi human interest dari Hok-Gie memang sulit untuk dilacak. Rasanya belum ada literatur yang mengungkap sisi ini. Padahal hal ini boleh jadi sisi yang "misterius" dari Hok-Gie, sebut saja bagaimana cara ia bergaul dengan karib serta koleganya, bagaimana cara ia menangani permasalahan di lapangan, ataupun bagaimana hubungannya dengan beberapa teman dekat wanitanya.
Kehadiran buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi, tampaknya mulai membuka sisi lain dari Hok-Gie. Sosoknya perlahan mulai terungkap meskipun tidak bisa secara utuh mengurai kompelksitasnya.
Buku ini berisi sejumlah tulisan dari beberapa sahabat dekat, rekan pencinta alam yang tergabung dalam Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Indonesia, budayawan, peneliti, sineas, maupun aktor. Dari tulisan-tulisan inilah dapat diketahui mozaik lain dari Hok-Gie.
Penulis pertama buku ini adalah Rudy Badil, salah seorang anggota Mapala UI yang ikut serta dalam pendakian ke Semeru pada pertengahan bulan Desember 1969. Di bagian awal inilah Rudy menceritakan apa yang dialaminya pada hari-hari saat-saat terakhir bersama Hok-Gie.
Tulisan ini diletakan di bagian awal karena memang kisah inilah yang paling tragis dari Hok-Gie. Di bagian ini dikisahkan saat-saat terakhir Rudy Badil bersama Hok-Gie. Dikisahkan bagaimana ia sempat melihat Hok-Gie yang masih bertahan di puncak Semeru sementara pendaki lain sudah turun karena cuaca saat itu dianggap mulai tidak bersahabat.
Namun tidak lama setelah itu Rudy Badil diberitahu oleh pendaki lain bahwa Hok-Gie dan Idhan Lubis mengalami kecelakaan. Belakangan diketahui kematiannya itu disebabkan oleh gas beracun yang keluar dari kawah Semeru, gunung berapi yang masih aktif.
Dikisahkan pula bagaimana sulitnya proses evakuasi kedua jenazah tersebut. Hal ini disebabkan sulitnya menjangkau lokasi karena medan yang cukup berat. Namun, dengan bantuan penduduk setempat, kedua jenazah dapat diturunkan.
Dari sejumlah tulisan lain dalam buku ini, terungkap pula bahwa Hok-Gie adalah sosok idealis yang seakan tidak pernah takut kepada siapa pun selama ia yakin dengan sikapnya. Bahkan ia siap berhadapan dengan penguasa jika memang penguasa tersebut berbuat sesuatu yang dianggapnya mencederai rasa keadilan.
Tidak heran jika kritik mapun protes keras acap kali ia sampaikan kepada penguasa, terutama lewat tulisan-tulisannya di berbagai media massa. Hasilnya, Hok-Gie memang dianggap orang yang berseberangan dengan penguasa. Termasuk ketika Hok-Gie terang-terangan melawan Presiden Soekarno yang dianggap memberi ruang terlalu berlebihan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menariknya, meskipun Hok-Gie adalah seorang anti-komunis--ditandai dengan dengan terjun langsungnya ia ke arena perlawanan terhadap komunisme--tetapi dia tetap protes ketika terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan PKI tanpa melalui proses di pengadilan.
Stanley Adi Prasetyo, Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini, mengutip tulisan Hok-Gie untuk memperlihatkan sikap Hok-Gie, terhadap masalah pembantaian tersebut. Hok-Gie dalam dalam majalah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat menulis, ketika pembunuhan dilangsungkan, para tawanan sering minta untuk segera dibunuh saja. Alasannya, mereka telah mengetahui bagaimana hidup mereka akan berakhir. Hal itu dilakukan karena mereka takut menghadapi siksaan atau cara pembunuhan mengerikan yang dilakukan oleh manusia yang menyebut dirinya ber-Tuhan (Hal. 349).
Hok-Gie memang sinis dengan ketidakadilan maupun kemunafikan. Ia tidak segan melakukan serangan terhadap realitas seperti itu. Untuk soal ini sikapnya hanya hitam-putih, tidak ada wilayah abu-abu. Dalam pandangannya, setiap kekeliruan harus diluruskan, meskipun itu dilakukan seorang pejabat yang memiliki otoritas.
Keiritisan Hok-Gie ternyata bersifat mengakar, hingga menyentuh persoalan agama. Dalam hal ini Hok-Gie tidak main mutlak-mutlakan. Ia yang mengaku mengalami "krisis kepercayan", menolak pendapat dari otoritas pemuka agama yang menyatakan bahwa agama yang mereka anut adalah satu-satunya agama yang akan mengantarkan manusia ke surga. Bagi Hok-Gie gagasan ini terlalu berlebihan. Baginya agama haruslah membawa pembebasan, dan bukan menjadi alat masyarakat untuk mencapai kepentingan tertentu.
Di balik itu semua ada sisi menarik lain dari Hok-Gie. Meskipun selalu berikap kritis dan tegas terhadap apa yang dilihatnya, toh tetap saja Hok-Gie adalah anak muda dengan dinamikanya sendiri, entah itu dalam pergaulan, komunitas hobi, kampus, sampai perempuan.
Dalam pergaulan misalnya Hok-Gie dikenal akrab dan terbuka dengan sejumlah kawan. Pembicaraan mereka pun sangat khas anak muda, termasuk subjek atau pembicaraan yang dianggap "menyerempet bawah perut"--begitu istilah Kartini Syahrir dalam buku ini.
Sisi lain kemanusiaan Hok-Gie yang ingin diungkap dalam buku inilah adalah kesepian yang dialaminya. Di tengah kegiatannya yang nyaris seakan tidak ada jeda, mulai dari menggalang massa mahasiswa turun ke jalanan, hingga naik gunung bersama pecinta alam lainnya, Hok-Gie adalah potret manusia yang dilanda sepi. Keironisan itulah yang ditangkap oleh Aris Santoso dalam buku ini. Inilah kesepian yang harus diterima Hok-Gie sebagai konsekuensi dari pilihan idealisme, keteguhan hati, dan kesetiaan kepada kebenaran.
Jelaslah, buku ini bukan sebuah usaha untuk mengultuskan sosok Hok-Gie. Sebaliknya buku ini mencoba untuk memperlihatkan sosok Hok-Gie apa adanya, dari sudut pandang orang-orang yang mengagumi dan mencintainya.
Buku ini sebenarnya dapat lebih kaya jika surat-surat pribadi Hok-Gie hasil korespondensinya dengan sejumlah orang dapat dimuat. Bukankah ia disebut-sebut berkorespondesi dengan Ben Anderson, Daniel S Lev, David R Looker, Syharir, sampai Onghokham. Tentu saja hal ini perlu usaha yang lebih rumit untuk mengumpulkan kembali surat-surat yang dimaksud.
Namun demikian, kehadiran Soe Hok-Gie...Sekali Lagi sedikitnya dapat memberikan sebuah penggalan lain kisah seorang Hok-Gie. Kita pun diingatkan kembali bukan hanya kepada keberaniannya, tetapi juga persoalan bangsa Indonesia yang membutuhkan politisi serta pemimpin yang peduli, peka dan siap bekerja untuk kemajuan bangsanya tanpa pamrih.
Absurditas Pernikahan dalam Masyarakat Kontemporer
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 456 halaman
Tahun : Januari 2010
Lembaga pernikahan yang sering dianggap sakral ternyata mengalami pereduksian makna dalam masyarakat kontemporer. Pernikahan yang sarat dengan nilai-nilai kesetiaan, pengabdian dan serta pengorbanan, kemudian ditaburi perselingkuhan, kebohongan serta berbagai kepalsuan.
Persoalannya kemudian, masihkah ada orang yang dapat sanggup mempertahankan pernikahan yang serba suci itu manakala lingkungan sekitarnya seolah-olah membenarkan terjadinya berbagai bentuk pengkhianatan. Lebih ekstrim, apakah lembaga perkawinan masih layak dipertahankan sebagai wadah penyatuan dua individu, baik secara formal ataupun agama
Novel Sudesi (Sukses dengan Suatu Istri) tampaknya ingin memberikan sebuah lapangan perenungan mengenai persoalan-persoalan tersebut. Lewat pengalaman dan sepak terjang tokoh-tokohnya, Sudesi yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, memperlihatkan kecenderungan ini.
Sebut saja tokoh Ibu Sukmono, istri Jati Sukmono penggagas Sudesi, yang kemudian berselingkuh dengan seorang fotografer ternama ketika suaminya tengah meringkuk di dalam penjara. Perselingkuhan yang diawali ketika Ibu Sukmono meminta untuk dipotret dalam pose tanpa busana itu, ternyata dapat terjadi begitu saja tanpa diakhiri rasa penyesalan maupun penghakiman yang berujung kepada akibat-akibat yang merepresentasikan “hukuman Tuhan” terhadap mereka.
Tentu saja novel ini tidak ingin menunjukkan bahwa perselingkuhan merupakan sesuatu yang pantas ditiru ataupun sesuatu yang bersifat relatif. Novel ini juga tidak berusaha mengonstruksi sebuah pemikiran bahwa perselingkuhan adalah sesuatu yang salah dalam pandangan relijiusitas. Sebaliknya, pembaca dibiarkan untuk menikmati alur cerita sebagaimana adanya, dan membuat penilaian tersendiri atasnya.
Beberapa kisah tokoh lainnya dalam novel ini juga menunjukkan bahwa pernikahan telah telah menjadi sesuatu yang absurd, misalnya saja kisah Bambang, seorang wartawan yang mendapat kesempatan untuk menuliskan biografi Ismi Patria, istri anak bungsu Tunjung Suanta, sekaligus istri dari Indrawan, seorang pengusaha kaya yang sanggup memberikan apa saja.
Tidak terjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Ismi, yang akrab dipanggil dengan Ibu Ais, dengan Indrawan. Namun Indrawan menyetujui saja ketika Ibu Ais ingin membuat sebuah biografi dan menunjuk Bambang, saeorang wartawan, untuk menuliskan biografi itu.
Maka, dengan segala fasilitas yang mewah yang disiapkan oleh Bu Ais sendiri, Bambang berkesempatan masuk ke dalam kehidupan Ibu Ais. Ia dapat mengikuti segala aktivitas Ibu Ais, mengamati perilakunya, melakukan wawancara, dan bahkan jatuh cinta kepadanya.
Dari sinilah dimulai sebuah perselingkuhan dengan perjanjian di atas kertas antara Ibu Ais dan Bambang. Sebelum memulai perselingkuhan, Bambang diminta untuk memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk syarat kesehatan yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Bagi Bambang ini adalah sesuatu yang aneh, tidak masuk akal dan terlalu rumit untuk sebuah perselingkuhan. Anehnya lagi, perselingkuhan ini dilakukan dengan persetujuan suami Ibu Ais.
Rabu, 09 Desember 2009
Melawan Otoritas Tanpa Batas Sekte Agama
Penulis : Elissa Wall dan Lisa Pulitzer
Penerbit : Dastan Books, Jakarta, september 2009
Pengultusan terhadap pemimpin agama memunculkan kecenderungan untuk menganggapnya sebagai otoritas yang tidak terbantahkan, baik ajaran maupun perintahnya. Bahkan bukan tidak mungkin otoritas tersebut dianggap sebagai pemegang wahyu Tuhan dengan wewenang tanpa batas.
Kepemilikian wewenang seperti inilah yang membuat pemimpin agama tergoda untuk menyelewengkan ajaran agama dengan maksud mempertahankan status quo dan memperoleh keuntungan, misalnya saja secara finansial, untuk dirinya sendiri. Meskipun karena itu banyak pengikutnya yang dirugikan dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Inilah yang terjadi pada sekte Mormon The Fundamentalist Church of Latter Day Saints--Gereja Fundamental Orang Kudus Akhir Jaman Akhir--(FLDS). Di sekte ini pemimpin agama yang disebut sebagai nabi, memiliki wewenang yang sangat luas. Kata-katanya adalah wahyu Tuhan yang harus dipatuhi. Pembangkangan terhadapnya adalah sebuah dosa yang tidak terampuni. Para pembangkang tidak akan mendapat tempat di komunitas maupun di dalam kerajaan surga.
Dalam sekte ini, poligami menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi oleh lelaki jika ingin masuk ke surga. Paling tidak seorang lelaki harus memiliki tiga orang istri agar pintu surga terbuka untuk dirinya. Alhasil, para pemuka FSLD dapat memperistri lebih dari sepuluh orang perempuan dengan puluhan anak yang hidup bersamanya dalam sebuah rumah. Dapat dibayangkan, beragam persoalan maupun konflik yang bakal terjadi dengan kondisi seperti ini.
Para perempuan dapat saja menolak jika dengan praktik ini. Namun dengan keyakinan, yang selalu ditanamkan oleh pemimpin agama di kelompok mereka, bahwa titah nabi adalah perintah Tuhan, maka tidak banyak diantara mereka yang berani untuk melawan. Mereka menerima begitu saja perlakuan menyakitkan dari suami mereka. Pembenarannya adalah, hal itu mereka lakukan untuk memenuhi rencana penciptaan Tuhan, yakni mengangkat mereka ke surga.
Adalah Elissa Wall, salah satu putri keluarga pengikuit FLDS. Ia adalah salah satu kisah tragis anak-anak yang dibesarkan di lingkungan sekte itu. Ia tidak hanya diajarkan untuk selalu patuh pada setiap perintah dan larangan yang keluar dali mulut nabi, namun juga dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan dibencinya, di usia yang masih sangat muda.
Pernikahan yang diatur dan direkayasa oleh nabi tersebut, memang membuat Elissa mengalami depresi berat. Berkali-kali ia menemui nabi untuk menjelaskan situasi dan kondisi dirinya, namun sang nabi tidak memedulikannya. Alasan Elissa bahwa ia masih muda dan sangat tidak siap untuk menikah, tidak digubris oleh sang nabi.
Akhirnya dari malam ke malam tidak lebih dari neraka bagi Elissa. Ia dipaksa oleh Allen, suaminya, untuk melakukan hubungan badan. Elissa menolak karena merasa katakutan dengan sesuatu yang sama sekali belum pernah didengar ataupun diketahuinya. Namun Allen terus memaksa. Ia pun memerkosa Elissa.
Apa yang dilakukan oleh Elissa wajar saja, sebab di lingkungan dimana seorang pemuda selalu disamakan dengan "ular berbisa", sangat sulit baginya untuk tiba-tiba menerima kehadiran seorang lelaki di sampingnya menjelang tidur. Elissa benar-benar tidak bisa menerima kenyataan yang saat itu tengah dihadapinya.
Elissa mencoba untuk mejelaskan apa yang dialaminya di rumah kepada nabi. Ia juga menyampaikan berbagai keluhan kepada nabi. Namun untuk ke sekian kalinya sang nabi tidak ambil peduli dengan penderitaan yang dialami oleh Elissa. Bagi nabi, seorang istri harus mematuhi kata suami sebab "istri adalah harta suami".
Namun Elissa tidak tinggal diam. Ia terus berusaha menghindari dari Allen. Ia pun semakin kritis mempertanyakan ajaran agamanya dan wewenang nabi yang semakin hari dirasa semakin tidak masuk akal. Ulahnya ini membuat panas telinga para pemuka agama dan anggota komunitas FLDS. Ia diancam untuk melakukan pertobatan darah yang mengancam nyawanya. Pada suatu kesempatan yang tepat Elissa melarikan diri dari kelompok itu
Pada akhirnya Elissa melaporkan perlakuan pemimpin FLDS terhadap dirinya kepada polisi. Sang nabi pun ditangkap dan diseret ke pengadilan. Dari proses pengadilan terbongkar bahwa Warren Jeffs yang dianggap nabi, yang dianggap mewakili Tuhan, ternyata tidak lebih dari nabi palsu yang hanya ingin mencari keuntungan belaka. Warren pun dijatuhi hukuman atas tuduhan pemerkosaan.
Buku ini, merupakan ungkapan hati mewakili suara perempuan yang cenderung dinomorduakan--atau tidak didengar sama sekali--dalam komunitas-komunitas agama. Dalam komunitas FLDS ini misalnya, seorang istri harus patuh kepada suaminya. Ketidakpatuhan dianggap sebagai bentuk perlawanan kepada kehendak Tuhan, sedangkan melawan kehendak Tuhan adalah dosa akan membawa seseorang ke dalam neraka.
Hal yang menarik adalah, Elissa tidak tinggal diam. Ia harus bersuara meskipun ia harus menjadi "golongan murtad" bagi komunitasnya. Itulah risiko yang harus diambil Elissa untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, yakni keadilan.
Buku ini juga mengingatkan kepada pembaca bahwa atas nama ajaran agama, seseorang dapat berbuat apa saja untuk kepentingannya. Bahkan otoritas tanpa batas yang diberikan dapat diubah menjadi berbagai bentuk kesemenaan yang merugikan, dengan kata lain, hal tersebut adalah awal kemunculan kepemimpinan diktator. Oleh sebab itu sikap kritis harus dimiliki agar umat tidak terjebak kepada ajaran yang menyesatkan.
Rabu, 25 November 2009
Pecahan Mozaik Sosok Pramoedya A Toer
Penulis : Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009
Halaman : 504 Halaman
Siapa saja yang membaca judul buku ini mungkin berharap akan mendapat sejumlah gambaran yang lebih dalam mengenai Pramodeya Ananta Toer (selanjutnya saya sebut Pram). Apalagi Pramodeya adalah sastrawan yang kontroversial di Indonesia karena peran serta kiprahnya di Lembaga Kesenian Rakyat. Sayangnya, hal tersebut tidak dapat dapat terpenuhi oleh terbitnya buku ini.
Kehadiran buku ini sebaiknya memang dapat menjawab keingintahuan masyarakat mengenai Pram secara lebih mendalam, mulai dari proses kreatif, ide-ide, gagasan, pemikiran, hingga sikapnya terhadap dunia kesenian maupun kondisi sosial. Dengan demikian, tabir kompleksitas yang melatarbelakangi karya-karya Pram ataupun sepak terjangnya yang kontroversial, dapat lebih terkuak.
Hal ini mungkin dapat dimentahkan dengan mengajukan pernyataan bahwa kompleksitas Pram sebetulnya dapat diketahui dengan menempuh pengkajian mendalam atas karya-karya Pram. Teori-teori maupun instrumen bedah kritik sastra sudah pasti dapat menjawab hal tersebut.
Oleh sebab itu, tulisan lain entah memoar atau biografi, baik yang ditulis oleh Pram ataupun orang-orang yang banyak berinteraksi dengannya, akan membantu memberikan jawaban dari keingintahuan mengenai Pram itu sendiri. Bahkan dengan kehadiran karya-karya sejenis, kajian-kajian akademis karya sastra Pram dapat dilakukan secara lebih komprehensif.
Seperti dikatakan oleh Jakob Oetama dalam buku Sketsa Tokoh, bahwa untuk mengetahui banyak hal mengenai seseorang dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah mengetahuinya secara langsung dari tokoh yang bersangkutan. Kedua, dengan menanyakannya kepada orang-orang yang telah mengenal tokoh tersebut dengan baik. Cara yang disebut terakhir inilah yang dapat diharapkan dari Koesalah Soebagoyo Toer, penulis buku ini yang juga sebagai adik kandung Pram, untuk mengetahui kompleksitas Pram itu sendiri.
Dengan menggunakan judul Bersama Mas Pram, buku ini terkesan ingin menunjukkan bagaimana penulisnya memiliki keterlibatan yang intens dan dekat dengan Pram. Sebutan “Mas” yang berarti kakak dalam bahasa Jawa, paling tidak seharusnya menunjukkan keakraban atau pun kedekatan ini. Kenyataannya, dalam buku ini hal tersebut tidak banyak muncul. Malah pada bagian awal buku ini beberapa kali perselisihan terjadi, hingga pernah Koesalah diusir dari rumah Pram.
Namun demikian, Koesalah seperti ingin menunjukkan bahwa Pram adalah orang yang memerhatikan keluarganya, terutama adik-adiknya, dan memiliki arti tersendiri bagi adik-adiknya. Hal ini terlihat jelas ketika ia menceritakan penangkapan terhadap Pram beberapa saat setelah terjadi peristiwa G 30 S. Pada peristiwa itu Pram dikisahkan begitu memerhatikan keselamatan adiknya. Tidak mengherankan jika Pram meminta Koesalah untuk ikut dengannya ketika ia ditangkap. Bahkan ia memerintahkan adiknya untuk mengaku baru datang dari luar negeri agar tidak dicurigai terlibat peristiwa yang telah membakar amarah orang-orang yang membenci anggota Partai Komunis Indonesia.
Apa yang ditulis dalam buku ini oleh Koesalah Soebagyo Toer, memang tidak menyinggung Pram secara mendalam. Sebaliknya, ia lebih banyak mengisahkan pengalamannya sendiri, baik interaksinya dengan keluarga dan lingkungan, pengalamannya dalam berkesenian, karir, pendidikan, serta pengalaman politiknya. Hanya di beberapa tulisan terakhir saja ia bercerita tentang Pram dengan lebih padat. Semuanya lebih bersifat human interest. Hingga pembaca dapat melihat selintas sisi lain dari Pram.
Pengaruh Pram yang kuat di Lekra pun tidak banyak disentuh dalam buku ini, dan mungkin Koesalah sangat paham soal itu. Padahal ini adalah salah satu titik kontroversial Pram adalah justru di wilyah yang satu ini. Akan sangat menarik sebetulnya apabila di buku ini muncul jawaban-jawaban dari berbagai hal yang selama ini menjadi kontroversi. Dalam buku ini sosok Pram diceritakan serba sedikit.
Dikisahkan juga dalam buku ini bagaimana pengaruh Pram terhadap adik-adiknya. Diceritakan misalnya bagaimana Pram meminta Koesalah untuk belajar mengarang dan menerjemahkan. Koesalah pun mengikutinya. Dari situ justru ketertarikan Koes kepada sastra mulai tumbuh. Malah di kemudian hari keahliannya dalam menerjemahkan karya sastra asing dapat menjadi salah satu sumber nafkahnya.
Jejak intelektual lainnya adalah, Pram kerap menyuruh adiknya sekolah di Eropa. Hal ini pun dapat diwujudkan. Meskipun beberapa tahun kemudian hal ini justru menjadi belitan persoalan tersendiri di mata aparat.
Menariknya, dalam buku ini juga dapat dilihat sejumlah perstiwa yang menimpa keluarga Toer setelah meletusnya peristiwa G 30 S. Dari setiap peristiwa yang dikisahkan dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa kebencian kepada PKI sudah sangat meluas dan hebat, bahkan mereka tidak peduli lagi apakah orang yang mereka anggap anggota PKI itu benar-benar anggota atau bukan.
Sangat jelas terlihat, stigma yang ditanamkan oleh kekuasaan saat itu adalah setiap anggota PKI adalah pembunuh kejam. Tidak mengherankan jika kemudian mereka yang dianggap anggota PKI menjadi bulan-bulanan, bukan hanya oleh aparat, tetapi juga kerabat maupun tetangga yang sebelumnya justru menghormati mereka. Pram sendiri dan adiknya ditahan. Bahkan Pram terus ditahan ketika Koesalah dibebaskan.
Akibat stigma itu, keluarga Toer memang mengalami kesulitan secara ekonomi. Bahkan ada yang harus selalu menggunakan nama samaran, bekerja sebagai buruh kasar agar tidak tercium oleh aparat yang masih menggebu menangkapi mereka yang dianggap anggota PKI. Ini tentu saja tidak hanya menimpa keluarga asal Blora itu, tetapi juga jutaan rakyat Indonesia lain yang dilabeli tuduhan serupa. Mereka seperti menjadi anak haram di negerinya sendiri, yang kehilangan hak hingga ke akar-akarnya.
Bagian yang paling dramatis dan sedikit magis adalah ketika dikisahkan saat-saat menjelang kematian Pram. Dalam kesaksian Koesalah, Pram merasakan kegelisahan beberapa hari menjelang kematiannya. Pram sendiri tidak mengetahui atau menjelaskan secara detil kegelisahan seperti apa yang dialaminya. Meskipun begitu Koesalah sudah “mencium” kalau itu berkaitan dengan kematian Pram.
Benar saja, sepuluh hari sesudah itu Pram meninggal dunia. Koesalah menceritakan suasana saat ketika Pram dalam keadaan kritis. Sayangnya, ia tidak berada di samping Pram ketika kakaknya itu meninggal dunia. Jika saja ia ada, mungkin banyak hal yang dapat ia ceritakan kembali di buku ini.
Selain Koesalah, adik kandung Pram lainnya, Soesilo Toer, juga menuliskan beberapa catatan pribadi mengenai Pram. Beberapa kenangan masa remajanya bersama Pram ketika masih berada di Blora disampaikannya dalam catatan tersebut. Meski tidak memberikan gambaran yang lebih utuh seputar sosok Pram, tetapi kisah yang ia sampaikan memberikan warna lain dari Pram.
Pada akhirnya, buku ini setidaknya telah menambahkan mozaik atau bahkan pecahan puzzle lain dari kehidupan seorang Pramoedya, sastrawan kelas dunia yang tidak pernah surut dikelilingi polemik itu. ***
Rabu, 14 Oktober 2009
Menyurusi Jejak Pemikiran WS Rendra
Tebal: xv + 388 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun: September 2009
Karya-karyanya Rendra tidak hanya respon terhadap kondisi di sekitarnya, namun juga menunjukkan berbagai gagasan mengenai kebudayan yang luas dan menembus waktu.
Itulah yang dapat ditangkap dari buku ini. Dari buku ini pertama-tama pembaca dapat melihat bagaimana "ketegangan" antara Rendra dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Ketegangan disebabkan Rendra melihat ada yang keliru dalam arah kebudayaan.
sumber:http://ulas-buku.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar